Tupperware Bangkrut: Simak Penyebab di Balik Keruntuhan Bisnis MLM Legendaris

Disrupsi Digital dan Strategi Gagal
Bisnis, Bericuan.id – Tupperware, merek legendaris dalam dunia penjualan langsung (direct selling), resmi mengajukan kebangkrutan di Delaware, Amerika Serikat, pada Selasa malam waktu setempat.
Perusahaan ini menyatakan bahwa kerugian yang semakin besar, ditambah dengan penurunan permintaan, telah membuat bisnisnya tidak lagi berkelanjutan. Lantas, apa yang menyebabkan Tupperware bangkrut setelah bertahan puluhan tahun?
Penyebab MLM Tupperware Bangkrut
1. Penurunan Penjualan yang Drastis
Tupperware menghadapi penurunan penjualan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Strategi baru mereka untuk memasukkan produk ke toko ritel dan platform daring tidak cukup kuat untuk menarik konsumen modern. Model bisnis direct selling, yang selama ini menjadi kekuatan mereka melalui acara “Pesta Tupperware”, kini kehilangan daya tarik.
“Lonjakan biaya tenaga kerja, pengiriman, dan bahan baku pascapandemi seperti resin plastik juga menekan bisnisnya,” ungkap manajemen Tupperware.
2. Disrupsi Digital
Perubahan besar di dunia digital membuat bisnis direct selling ketinggalan zaman. Platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan influencer marketing yang lebih cepat dan efisien menjadi pilihan utama konsumen.
Di era digital ini, konsumen lebih menyukai membeli produk kapan saja dan di mana saja, tanpa melalui perantara.
3. Milenial dan Zilenial Beralih ke Belanja Online
Generasi milenial dan zilenial memilih belanja online karena menawarkan kenyamanan dan kecepatan. Acara Tupperware Party yang dulu populer, kini dianggap tidak praktis dan membuang-buang waktu.
“Generasi muda lebih tertarik belanja online melalui aplikasi atau media sosial seperti Instagram dan TikTok,” menurut beberapa ahli bisnis.
Utang Bengkak Bikin Tupperware Bangkrut
Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1946 ini kini memiliki utang mencapai US$812 juta. Para pemberi pinjaman berupaya menyita aset-aset perusahaan, termasuk mereknya, sehingga Tupperware terpaksa mencari perlindungan kebangkrutan.
Total kewajiban perusahaan diperkirakan antara US$1 miliar hingga US$10 miliar, dengan jumlah kreditor mencapai 100.000.
Kejadian Tupperware Bangkrut ini menjadi pertanda buruk bagi model bisnis multi-level marketing (MLM) dan direct selling.
Yuswohady, seorang Business Consultant Managing Partner Inventure menyatakan bahwa kebangkrutan Tupperware menjadi sinyal kematian bagi bisnis direct selling tradisional. Disrupsi digital telah merombak tatanan bisnis, membuat model penjualan langsung ini sulit bersaing.
“Disrupsi digital melumat model bisnis direct selling tradisional. Model bisnis yang mengandalkan hubungan personal dan jaringan offline kini tak mampu bersaing dengan platform e-commerce dan media sosial,” tulis Yuswohady di Instagramnya.
Kejatuhan Tupperware merupakan contoh klasik dari kegagalan adaptasi terhadap perubahan zaman. Bisnis yang dulu berjaya dengan model penjualan langsung, kini tumbang karena terlambat merespon disrupsi digital dan perubahan perilaku konsumen.
Pelajaran terbesar yang bisa diambil adalah pentingnya bagi bisnis untuk terus berinovasi dan mengikuti tren pasar.
Dengan berbagai tantangan ini, Tupperware kini berada di persimpangan besar dalam sejarahnya. Mampukah mereka bangkit kembali dengan investor baru, atau ini adalah akhir dari sebuah era? (*)







