
Generasi Z
Industri, Bericuan.id – Generasi Z, atau mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini memasuki usia produktif dan mulai mendominasi pasar tenaga kerja di Indonesia. Namun, keberadaan mereka di dunia kerja tidak lepas dari sejumlah tantangan yang mengundang perhatian pengusaha dan pemerintah.
Tingginya tingkat turnover karyawan atau perputaran karyawan dari kelompok ini menjadi salah satu isu utama yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Joko Baroto, Project Management Officer Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), banyak karyawan Gen Z yang memilih berhenti bekerja hanya dalam hitungan bulan. Alasan yang paling sering diungkapkan adalah ketidaksesuaian pekerjaan dengan gairah mereka dan ketidakmampuan menghadapi tekanan di tempat kerja. Kondisi ini membuat perusahaan harus terus-menerus merekrut tenaga kerja baru, yang pada akhirnya meningkatkan biaya operasional.
Cerita serupa juga diungkapkan oleh Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Ketenagakerjaan, Siti Kustiati. Ia menyebutkan bahwa beberapa perusahaan di sektor industri menghadapi tingkat turnover karyawan hingga 75 persen hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.
Selain itu, meskipun keterampilan teknis generasi ini cukup baik, perusahaan sering kali mengeluhkan kurangnya keterampilan lunak (soft skill) seperti kemampuan komunikasi, kerja tim, dan kedisiplinan.
Dampak Sosial Turnover KaryawanÂ
Tingginya turnover karyawan gen Z ini tidak hanya berdampak pada operasional perusahaan, tetapi juga berpotensi memengaruhi stabilitas sosial dan ekonomi. Joko menegaskan bahwa pengangguran yang meningkat akibat ketidakstabilan di dunia kerja dapat memicu masalah sosial yang lebih luas.
Untuk menghadapi masalah ini, sejumlah pengusaha mulai mengambil langkah strategis. Salah satunya adalah mendirikan sekolah vokasi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri. Apindo, misalnya, telah mendirikan lima sekolah menengah kejuruan di kawasan industri, termasuk SMK Mitra Industri MM2100 di Cikarang, Jawa Barat.
Sekolah-sekolah ini tidak hanya berfokus pada pengembangan keterampilan teknis tetapi juga melatih keterampilan lunak siswa. Pelatihan mencakup cara merespons kritik, menyelesaikan konflik, dan perencanaan proyek. Meski demikian, upaya pengembangan sekolah vokasi masih menghadapi kendala administratif dan birokrasi yang rumit.
Di sisi lain, pemerintah juga turut serta mencari solusi. Siti Kustiati menyebutkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan telah menggandeng sekolah dan lembaga pelatihan untuk memberikan bimbingan kepada generasi muda. Salah satu pesannya adalah mendorong karyawan muda bertahan minimal tiga tahun di satu perusahaan untuk membangun pengalaman kerja yang lebih baik.
Pemerintah juga bekerja sama dengan kementerian pendidikan untuk meningkatkan porsi pelatihan soft skill di kurikulum pendidikan. Selain itu, program asesmen minat dan bakat mulai diperkenalkan untuk memastikan pekerja muda memasuki bidang yang sesuai dengan passion mereka.
Fenomena tingginya turnover karyawan Gen Z mencerminkan tantangan yang kompleks dalam dunia kerja modern. Dibutuhkan kerja sama antara pengusaha, pemerintah, dan lembaga pendidikan untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung serta meningkatkan keterampilan generasi muda. Dengan langkah yang tepat, potensi besar yang dimiliki oleh generasi ini dapat dimaksimalkan demi kemajuan ekonomi Indonesia. (*)







