Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Industri, Bericuan.id – Pemerintah berencana menurunkan ambang batas pajak UMKM dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 3,6 miliar per tahun. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai langkah untuk menyesuaikan praktik perpajakan internasional, sekaligus memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara. Namun, bagaimana dampaknya bagi jutaan pelaku usaha di Indonesia? Apakah kebijakan penurunan ambang batas pajak UMKM ini benar-benar relevan dan adil? Mari kita bahas lebih dalam.
Sejarah Kebijakan Pajak UMKM di Indonesia
Kebijakan pajak penghasilan (PPh) final untuk UMKM mulai diterapkan pada 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013. Awalnya, tarif PPh final ditetapkan sebesar 1 persen tanpa batas waktu. Namun, pada 2018, muncul PP Nomor 23 yang menurunkan tarif PPh final menjadi 0,5 persen sekaligus memberikan batas waktu penerapan: 7 tahun untuk wajib pajak orang pribadi, 3 tahun untuk badan berbentuk perseroan terbatas (PT), dan 4 tahun untuk badan seperti commanditaire vennootschap (CV), koperasi, serta yayasan.
Kemudian, di 2022, terbit PP Nomor 55 yang memberikan keringanan lebih lanjut bagi UMKM. Dalam aturan ini, wajib pajak orang pribadi dengan omzet hingga Rp 500 juta per tahun dibebaskan dari PPh final 0,5 persen. Sayangnya, kebijakan terbaru justru menghadirkan ironi: alih-alih menaikkan ambang batas sesuai inflasi, pemerintah memilih untuk menurunkannya.
Logika di Balik Penurunan Ambang Batas Pajak UMKM
Jika dihitung menggunakan asumsi inflasi 2 persen per tahun sejak 2013, ambang batas pajak UMKM seharusnya naik menjadi Rp 5,9 miliar per tahun, bukan malah turun menjadi Rp 3,6 miliar. Penurunan ini tentu menuai kekecewaan, terutama bagi pelaku UMKM yang omzetnya berkisar antara Rp 3,6 miliar hingga Rp 4,8 miliar. Mereka harus menghadapi tarif pajak progresif yang lebih tinggi, yaitu:
- Wajib pajak orang pribadi: Tarif progresif sebesar 5 persen hingga 35 persen berdasarkan penghasilan kena pajak.
- Wajib pajak badan: Tarif PPh Pasal 31E sebesar 11 persen dan PPh Pasal 17 sebesar 22 persen.
Selain membayar pajak penghasilan, pelaku UMKM harus menghadapi pajak daerah seperti pajak restoran, pajak parkir, pajak bahan bakar, hingga pajak reklame. Tidak jarang, pungutan liar juga menjadi tantangan tambahan, membuat biaya operasional semakin tinggi. Dengan penurunan ambang batas ini, pelaku UMKM yang seharusnya mendapatkan keringanan malah terbebani lebih berat.
Kontribusi UMKM dalam Ekonomi Nasional
UMKM telah lama menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Dengan jumlah mencapai 66 juta unit, sektor ini menyerap 117 juta tenaga kerja atau 97 persen dari total tenaga kerja di dunia usaha. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 61,1 persen atau Rp 8.573,89 triliun. Dari sisi pajak, kontribusi UMKM pun signifikan. Dengan tarif PPh final 0,5 persen, sektor ini menyumbang sekitar Rp 42,8 triliun per tahun.
Namun, kebijakan penurunan ambang batas pajak UMKM ini justru berpotensi melemahkan daya saing UMKM. Saat pelaku usaha besar mendapat berbagai insentif dan fasilitas, UMKM malah dihadapkan pada tekanan regulasi yang kurang berpihak.
Belajar dari Kebijakan Pajak di Negara Lain
Sebagai perbandingan, Cina menawarkan berbagai insentif untuk mendukung UMKM. Beberapa kebijakan mereka antara lain:
- Pengurangan PPh sebesar 50 persen untuk wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha kecil.
- Pembebasan PPN untuk pendapatan bunga dari pinjaman mikro hingga 2027.
- Potongan pajak bagi startup teknologi.
Kebijakan ini tidak hanya meringankan beban pelaku usaha, tetapi juga mendorong pertumbuhan sektor UMKM.
Sebagai sektor yang menyumbang besar pada perekonomian nasional, UMKM layak mendapatkan perlakuan adil dan dukungan yang lebih konkret. Penurunan ambang batas pajak UMKM bukanlah solusi yang bijak. Sebaliknya, pemerintah seharusnya:
- Menaikkan ambang batas omzet sesuai dengan inflasi agar lebih relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.
- Memberikan insentif pajak bagi UMKM yang berinovasi atau berkontribusi pada pengembangan teknologi.
- Meningkatkan efisiensi pengelolaan pajak daerah untuk mengurangi beban pajak berganda.
Kebijakan penurunan ambang batas pajak UMKM menjadi Rp 3,6 miliar per tahun memang berpotensi meningkatkan penerimaan negara, tetapi berisiko melemahkan daya saing pelaku usaha kecil. Dengan kontribusi besar UMKM terhadap ekonomi nasional, kebijakan ini perlu dikaji ulang demi menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan mendukung pertumbuhan usaha kecil.
UMKM telah terbukti menjadi pilar yang kokoh dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama di masa krisis. Saatnya pemerintah bersikap lebih bijak dan memberikan penghargaan yang layak bagi pelaku usaha kecil di Indonesia. (*)